Fiqih Madzhab Empat
Fiqih Madzhab Empat
Oleh:
A. Fatih Syuhud
Kyai Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa
penganut Ahlussunnah Wal Jamaah adalah mereka yang secara aqidah mengikuti
Asy’ariyah dan secara fiqih menganut salah satu madzhab empat.[1]
Yang dimaksud madzhab empat adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali. Madzhab fiqih yang empat ini
adalah kelanjutan dan intisari dari fiqih yang dianut oleh para Sahabat,
Tabi'in dan Tabi'it tabi'in. Pada awal munculnya keempat madzhab ini, ada dua
metode pengambilan hukum (istinbat al-hukm) yang populer yaitu metode
pemikiran (ahl al-ra'yi) dan analogi (ahl al-qiyas). Pelopornya adalah Abu
Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H/767 M) dan ulama pengikutnya yang dikenal dengan sebutan
Ahlul Iraq.[2]
Kedua, metode ahlul hadits yang
menjadi metode ulama Hijaz (Ahlul Hijaz). Sistem ini dipelopori oleh Malik bin
Anas (w. 176 H/795 M). Setelah Anas bin Malik, muncul Muhamad bin Idris
Al-Syafi'i (w. 204 H/820 M) yang pada
awalnya berfiqih dengan metode Ahlul Hadits. Kemudian setelah Imam Syafi'i
pindah ke Irak, lalu berguru pada ulama pengikut Abu Hanifah, maka ia
mengombinasikan dua metode istinbat hukum yaitu metode ahlul hadits dan metode
ahlul hijaz. Setelah itu, muncullah Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), seorang
ahli hadits (muhaddits) yang banyak mengambil dan meriwayatkan hadits dari Imam
Syafi'i dan mengikuti madzhab Syafi'i. Pada akhirnya, Ahmad bin Hanbal membuat
madzhab sendiri yang dikenal dengan madzhab Hanbali.[3]
Keempat madzhab ini dalam segala aspeknya, mulai dari produk hukum yang sudah
dibuat sampai metode pengambilan hukum baru, kemudian menjadi rujukan para
ulama Ahlussunnah Wal Jamaah sejak awal berdirinya sampai saat ini.
Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi adalah madzhab fiqih
pertama dari tiga madzhab yang lain. Oleh karena itu, tidak heran apabila
madzhab ini menjadi madzhab fikih yang paling banyak pengikutnya dan paling
luas jangkauan geografisnya di dunia. Walaupun disebut madzhab Hanafi, merujuk
pada nama pendirinya, namun produk hukum fiqih yang dibuat bukan hanya ijtihad
Abu Hanifah, tapi juga hasil ijtihad para ulama lainnya. Abu Hanifah termasuk dari ahli fiqih
dari kalangan Tabi’in.
Abu Hanifah dan ulama madzhab Hanafi
setelahnya dianggap sangat berjasa dalam mempelopori kodifikasi (pembukuan)
ilmu syariah dan menyusunnya dalam sejumlah bab secara sistematis. Aktivitas
ini kemudian diteruskan oleh Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, dalam
kitab Al-Muwatta'. Dianggap perintis pembukuan kitab fikih karena
aktifitas pembukuan ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat dan Tabi'in.
Kalangan Sahabat dan Tabi'in tidak mencatatnya karena mereka mengandalkan pada
kekuatan hafalan. Kenyataan ini yang membuat Imam Abu Hanifah khawatir akan
hilangnya sumber utama syariah Islam. Lalu disusunlah kitab syariah dalam
bentuk yang sistematis dan tersusun rapi mulai dari bab taharah (bersuci), bab
shalat, bab puasa, bab zakat, dan masalah ibadah lainnya. Kemudian dilanjutkan
dengan bab muamalah sampai bab hukum waris. Sistem ini kemudian dilanjutkan
oleh kalangan ulama fikih setelahnya.[4]
Madzhab Hanafi diikuti oleh umat
Islam di sejumlah negara yaitu Turki, Balkan, Suriah, Libanon, Yordania,
Palestina, Mesir, sebagian Irak, Kaukasus, sebagian Rusia, Turkmenistan,
Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Uzbekistan, Afghanistan, Pakistan, sebagian
kawasan India, Cina dan Bangladesh.[5]
Adapun metode pengambilan hukum (istinbat
al-hukm) dari madzhab Hanafi ada tujuh yaitu: Al-Quran, hadits, ijmak,
pendapat Sahabat, qiyas, istihsan dan uruf (tradisi).[6]
Madzhab Maliki
Madzhab Maliki adalah madzhab fiqih
kedua dalam segi senioritas. Madzhab ini muncul pada abad kedua hijriah.
Diperkirakan 35 persen muslim Ahlussunnah Wal Jamaah mengikuti madzhab Maliki.
Mereka tersebar di sejumlah kawasan seperti Afrika utara meliputi negara
Aljazair, Sudan, Tunisia, Maroko, Libia, Mauritania, sebagian Mesir, dan
Eritria. Juga terdapat di kawasan negara jazirah Arab seperti Bahrain, Uni
Emirat Arab, Kuwait dan sebagian Arab Saudi, Oman, dan negara lain di Timur
Tengah. Madzhab ini juga tersebar di sejumlah negara Afrika barat seperti
Senegal, Mali, Niger, Chad, Nigeria Utara.
Sumber
rujukan dalam pengambilan hukum (istinbat al-hukm) pada madzhab Maliki
ada 11 yaitu Al-Quran, hadits, ijmak ulama, perilaku muslim Madinah, ucapan
Sahabat, syariah para Nabi sebelum Nabi Muhammad, masalih mursalah
(berdasarkan kemaslahatan), istihsan (pendapat berdasarkan dalil
terkuat), sadd al-dzarai' (melarang hal yang menjadi penyebab keharaman),
dan istishab (menetapkan hukum pada asalnya).[7]
Ini menunjukkan bahwa madzhab Maliki memakai metode gabungan antara aqli dan
naqli dalam berijtihad atau membuat produk hukum Islam.
Madzhab Syafi’i
Fiqih madzhab
Syafi'i dianut di sejumlah negara di seluruh dunia. Mulai dari Suriah, Libanon,
Mesir, Indonesia, Malaysia, Afrika timur, India selatan. Madzhab ini dianut
mayoritas penduduk di negara Yaman. Dan tersebar di sebagian kawasan Arab Saudi
seperti Hijaz, Tihamah, Ahsa, Jazan. Juga, di kawasan Irak tengah dan Kurdistan
dan sebagian kawasan Iran, Oman selatan dan negara-negara kaukasus seperti
Dagestan dan Chechnya. [8]
Sumber
rujukan dalam metode pengambilan hukum (istinbat al-hukm) dalam madzhab
Syafi'i ada lima yaitu Al-Quran, hadits, ijmak, ucapan Sahabat dan qiyas
(analogi). Metode ini dikenal sebagai kombinasi antara ahlul Iraq’nya madzhab
Hanafi dan ahlul Hijaz-nya madzhab Maliki.[9]
Madzhab Hanbali
Madzhab
Hanbali adalah madzhab termuda di antara keempat madzhab fiqih Aswaja. Oleh
karena itu, tidak heran apabila pengikut madzhab ini secara kuantitas dan
jangkauan geografis paling sedikit. Madzhab
ini hanya tersebar di Najed, Teluk Arabia, Mesir dan kawasan Syam (Suriah,
Libanon, Irak, Yordania).
Menurut
Al-Tsaqafi, ada beberapa faktor mengapa pengikut madzhab Hanbali sangat
sedikit. Antara lain,
a)
Lokasi
penyebaran sudah ditempati tiga madzhab lain yang lebih dulu ada.
b)
Ulama madzhab
Hanbali tidak ada yang menjadi qadhi (hakim). Sedangkan produk hukum hasil
keputusan para hakim memiliki kontribusi signifikan pada tersebarnya suatu madzhab
fiqih.
c)
Madzhab
Hanbali terlalu keras, untuk tidak mengatakan radikal terutama pada kalangan
muslim yang mereka sebut sebagai ahlul bid'ah. Sikap kaku ini dipengaruhi
antara lain dengan prinsip sadd al-dzarai’ (mencegah penyebab
keharaman);
d)
Ulama Hanbali
yang sampai pada derajat Imamah tidak mau aktif tampil dan menduduki jabatan
tertentu di pemerintahan, justru malah menjauhkan diri dari kehidupan duniawi.[10]
Adapun metode
rujukan dalam pengambilan hukum madzhab Hanbali mirip dengan madzhab Syafi'i
dan madzhab Maliki yaitu: Al-Quran, hadits, ijmak, fatwa Sahabat, istishab,
masalih mursalah, dan sadd al-dzarai'.
Perbedaan Pendapat (Khilafiyah) adalah Rahmat
Dengan
adanya sejumlah perbedaan dalam metode pengambilan hukum antara keempat
madzhab, maka tidak mengherankan apabila terjadi perbedaan pada produk hukum
yang dihasilkan walaupun ada pula yang sepakat. Kesepakatan antarmadzhab
disebut ijmak. Seperti wajibnya shalat, jumlah rakaat shalat lima waktu,
haramnya zina, dan lain-lain. Sedangkan perbedaan antarmadzhab disebut ikhtilaf
al-ulama. Seperti cara menyucikan najis. Bahkan tentang status najisnya
anjing itu sendiri masih menjadi perbedaan ulama madzhab empat.
Perbedaan
pendapat di antara ulama madzhab empat adalah biasa. Bahkan, perbedaan itu
menjadi rahmat bagi muslim awam sehingga mereka bisa memilih pendapat yang
dapat memberikan solusi pada masalah yang dihadapi sehari-hari. Ibnu Qudamah,
seorang ulama madzhab Hanbali, menyatakan dalam muqaddimah kitab Al-Mughni:
“Kesepakatan ulama menjadi hukum yang pasti, sedangkan perbedaan ulama menjadi
rahmat yang luas.”[11]
Dengan
kata lain, dalam hukum fiqih kebenaran itu tidak tunggal. Empat pendapat yang
berbeda dari para ulama yang ahli di bidangnya bisa jadi sama-sama benar.
Seperti kata Imam Syafi’i: “Pendapatku benar tapi mungkin saja salah. Pendapat
orang lain salah tapi bisa saja benar.”[12]
Pemahaman bahwa kebenaran itu tidak tunggal perlu selalu menjadi catatan kita
agar kita bisa lebih toleran terhadap perbedaan. Baik berbeda dalam syariah
maupun aqidah.[]
[1] Kyai Hasyim Asy’ari, Risalatu Ahlissunnah Wal Jamaah, hlm. 4.
[2] Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khaldun, hlm. 1/446
[3] Ibid.
[4] "Al-Madzhab Al-Hanafi: Al-Madzhab Al-Aktsar Intisyaran fil
Alam", 17 November 2014. Link: http://www.islamist-movements.com/6012.
[5] Siegbert Uhlig, "Hanafism" in Encyclopaedia
Aethiopica: D-Ha, Vol 2, Otto Harrassowitz Verlag, (2005), hlm. 997-99.
[6] Ahmad Said Hawi, Al-Madkhal ila Mazhab Al-Imam Abi Hanifah,
hlm. 118.
[7] Al-Qarafi, Syarh Tanqih Al-Fushul, hlm. 2/192.
[8] Jurisprudence and Law – “Islam Reorienting the Veil”,
University of North Carolina (2009)
[9] Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin Al-Turki, Asbab Ikhtilaf Al-Fuqaha,
hlm. 264.
[10] Dr. Salim Al-Tsaqafi, Miftahul Fiqh Al-Hanbali, hlm. 2/430.
[11] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 1/3. Teks asal: اتفاقهم حجة قاطعة ، واختلافهم رحمة واسعة
[12] Alawi Assegaf, Al-Fawaid Al-Makiyah.