Ikhlas

Santri Al-Khoirot


Menjadi orang yang ikhlas tidak serta merta dan secara tiba-tiba terbentuk dalam kepribadian manusia. Hal ini butuh dilatih dan terus diasah dengan banyak cara, diantaranya dengan bershodakoh yang semata-mata hanya karena Allah, bukan karena ingin dipuji oleh sesame manusia.

Bershodakoh adalah cara dari sekian banyak cara untuk melatih sikap ikhlas, bagaimana agar kita tidak terang-terangan atau secara terbuka bershodakoh dengan harapan dipuji dan disanjung orang lain. Dengan demikian ikhlas dan ketulusan dalam beramal dan beribadah berada pada taraf tertinggi dalam ibadah seseorang. Hal ini sebagaimana hadits Nabi, yakni

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Bahwa Allah tidak tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.”

Dalam masalah ikhlas, Syaikh Imam Nawawi Banten di dalam kitabnya Nashaihul ‘Ibad membagi keikhlasan ke dalam tiga tingkatan.[1] Imam Nawawi menjelaskan bahwa tingkatan ikhlas yang pertama yang merupakan tingkat paling tinggi di dalam ikhlas adalah sebagai berikut:

فأعلى مراتب الاخلاص تصفية العمل عن ملاحظة الخلق بأن لا يريد بعبادته الا امتثال أمر الله والقيام بحق العبودية دون اقبال الناس عليه بالمحبة والثناء والمال ونحو ذلك

Yakni tingkatan ikhlas yang paling tinggi ialah membersihkan perbuatannya dari perhatian manusia, tidak ada yang dia diinginkan dengan ibadahnya selain menuruti perintah Allah dan melaksanakan hak penghambaan, bukan untuk mencari perhatian manusia yang berupa kecintaan, pujian, harta dan semacamnya.

Ikhlas pada tingkatan ini, orang yang melakukan amalan baik itu ibadah wajib ataupun sunnah, Ia tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah dan mengharap ridla-Nya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah hamba Allah dan sangat butuh pada-Nya. Maka sudah seharusnya seorang hamba taat pada apapun yang diperintahkan oleh Allah tanpa mengharap mendapatkan imbalan apapun dari-Nya. Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Ia beramal tanpa peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka-Nya. Yang ia harapkan hanyalah ridla-Nya.

Kemudian tingkatan ikhlas yang kedua, Syaikh Imam Nawawi Banten menuturkan sebagai berikut:

والمرتبة الثانية أن يعمل لله ليعطيه الحظوظ الأخروية كالبعاد عن النار وادخاله الجنة وتنعيمه بأنواع ملاذها

Adapun tingkat keikhlasan yang kedua ialah ia melakukan perbuatan karena Allah dengan harapan ia diberi bagian akhirat seperti halnya dijauhkan dari siksa neraka dan dimasukkan ke dalam surga-Nya serta dapat menikmati berbagai macam kelezatan surga.

Pada tingkatan ikhlas yang kedua ini orang beramal hanya karena Allah namun di balik itu ia mempunyai keinginan atau harapan agar dengan ibadahnya tersebut nanti di akhirat akan memperoleh pahala yang besar dari Allah SWT, selamat dari siksa neraka dan dimasukkan kedalam surga-Nya.

Tingkatan ikhlas yang ketiga menurut Imam Nawawi Banten sebagai berikut:

والمرتبة الثالثة أن يعمل لله ليعطيه حظا دنيويا كتوسعة الرزق ودفع المؤذيات

Adapun tingkatan keikhlasan yang ketiga ialah melakukan perbuatan karena Allah dengan harapan ia diberi bagian duniawi seperti kelapangan rezeki dan dihindarkan dari perihal yang menyakitkan.

Tingkatan ikhlas yang ketiga ini merupakan tingkat keikhlasan yang paling rendah, di mana orang melakukan amalan atau ibadah karena Allah tapi ia mempunyai harapan untuk mendapatkan imbalan duniawi.

Dengan penjelasan di atas, maka jika seseorang beramal atau beribadah dengan harapan dipuji oleh sesama manusia atau ingin dihormati dengan amalannya. Maka sikap orang tersebut bukan masuk dalam kategoti ikhlas,tapi sikap riya.

Oleh : M. Zaironi

Santri Ma'had Aly

Artikel ini sudah di muat di Buletin Al-Khoirot


[1] Syaikh Muhammad Nawawi Al-Banteni Al-Jawi, Kitab Nashaihul Ibad, (Jakarta: Darul Kutub Al-Islamiyah), 2010, hal. 58

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url